Skip to main content

Posts

Showing posts from 2015

Sariawan jiwa

Kau berhasil buatku meragu Meluruh bumi menjadi debu, melayang diantara ruang kelam Sudah tau, kita beda dunia Masih saja kau sumpal pandangku dengan sejuta tirai sampai kubuta dan bertanya tanya Terserahlah ! Sudah hilang demenmu padaku, atau apalah Ngobrolah sana sesuka hatimu, mau kau jadi guru si dia pun kini terserah Yang pasti Akan kuurus semestaku sendiri, dan jiwaku ringkih tak bertulang !

Kemerdekaan

Kemerdekaan untuk yang terjajah Keinginan yang dirampas dengan tangan yang keras Awan awan dilangit itu hanya menunggu menjadi bubur Awan dilangit dua puluh agustus hujannya kian subur Aku duduk dibawah naungan pohon delima Yang dihinggapi burung gagak Saat itu senja sebagai jembatan siang dan malam Maka ledaklah badai gemuruh Rupanya malaikat sedang cekcok diatas langit Dikaki singasana Tuhan

Langit yang gugur

Kekejaman adalah membangun dengan meruntuhkan pengharapan orang lain Maka neraka bukan hanya berwujud dialam baqa tetapi ketika angkasa citamu pupus seketika Bukankah harapan adalah benih kecil dalam jiwa Maka jiwamu akan pudar dan lenyap seiring waktu menyeretmu dengan luka Lalu kau akan mati dengan cara hidup dengan kebencian layaknya semesta berkembang

Budi Yang Resah

Untuk kawanku Budi Atman simanusia Uranium yang ledakannya abadi Tetikus di layar monitor berkedip kedip, tetapi mata yang mengamatinya tak pernah berkedip sekalipun. Hatinya kalut, berdebar-debar, ia cemas. Sesekali menggigit bibir, telapak tangannya basah. Resah, ia menjambak rambutnya sendiri. Ia menghembuskan nafas yang berat.             Ia bingung menulis kata pertama untuk membalas surel itu, mahasiswa psikologi itu akhirnya menutup laptopnya dengan kasar. Mengurungkan membalas surel itu. Mengunci pintu dan membenamkan wajahnya kebantal, berharap itu hanya sekedar mimpi disiang bolong lalu bangun dengan keadaan yang tak terjadi apa-apa.             M.H. Sobirin kawan semenjak kejadian tragis itu, kini ia merubah segala penampilannya, ditanggalkan kemeja corak buruknya, minyak wangi yang bau tujuh rupa memusingkan kepala, celana yang berfungsi sebagai sapu pun tak ada. Semuanya dihibahkan. Berganti dengan Sobirin yang kekinian. Kaos berkerah, celana jeans lazimnya pemuda

Sobirin yang jatuh cinta

Dipersembahkan untuk seseorang yang nun jauh disana, dibalik gunung, yang suka tahu bulat dan Kawanku yang bernama M.H. Sobirin Diatas balkon lantai dua. Pukul dua belas malam. Angin dingin yang rasanya merobek kulit, melumatkan daging, dan menggigit tulang. Angin itu merasuk kedalam tubuh yang ringkih – tubuh yang kurang gizi karena kebanyakan makan beras murah, satu tingkat diatas beras berkutu, satu tingkat diatas beras raskin Bulog. Manusia malang itu masih saja memeluk lutut. Lagu Lonely dari Christina perri terdendang dari handphone made in china itu, terkadang terdengar suara distraksi yang kemrosok jika sampai pada nada yang tinggi. Kemejanya berkibar terkena angin malam.             Matanya yang polos itu, yang terlihat botak seperti tak punya alis mata menatap kosong kearah lalu lalang kendaraan di jalan A.H. Nasution. Kelebat lampu kendaraan, suara klakson, dan teriakan sopir, debu-debu semuanya seperti bergerak dalam hening dan lambat. Hati pengamat itu sedan

Sobirin Mahasiswa Biang Kerok

BATANG batang cahaya masuk dari tingkap kisi jendela, debu debu kini terlihat jelas, miliaran debu membedaki kamar pengap ini. Terdengar suara air yang mengucur deras dari keran lamat lamat mengendur karena tuas kerannya ditutup. Pintu kamar mandi terbuka. Sehelai anduk dililitkan dipinggang, demi menutupi sikemaluan agar tak pamer kemana mana. M.H. Sobirin – Huruf ‘H’ nya sering diidentikan dengan gelar Haji, padahal puasa bulan haji pun jarang-jarang. Wangi sabun murah menguar dikamar kosan. Sobirin yang jarang mandi pagi kini tumben-tumbenan mandi pukul tujuh ini dikarnakan harus mengikuti ujian perbaikan, mau tak mau harus mandi pagi dari pada kena depak dosen. Blower terdengar berdesir. Budi Atman mahasiswa jurusan Psikologi ini tak henti hentinya mengetik dari malam, matanya merah bagai habis kena tonjok orang, wajahnya berminyak tanda belum kena air. Jika wajahnya bisa dicopot lalu diperas mungkin bisa menghasilkan satu kilogram minyak, jadi tak usah beli ke warung Bu Ijah

Puisi saja

Diantara bantal bantal Diantara tikungan jalan Diantara helai sayap burung diudara Diantara riak sungai tak bertulang Kusimpan khayalan membumi Kusimpan cinta yang tak berbalas Cinta yang tak pernah punya kesempatan Yang seabadi masa itu ada Diantara pucuk bunga terompet Diantara kabut yang kena tempias lampu warna Cinta yang meranum kini busuk membiru Sudahlah aku ingin minggat saja Aku malu, kau diam tak menggubris Perasaan yang telah purba kini punah jadi apa

INI PUISI

Terlalu menyedihkan untuk diingat Lalu kubangun sejagad nisan Tempat menguburkan kisah kisah menyengat Serasah cerita yang tak mampu dijabar lisan Dibalik mata sendu Dibalik mahkota awan awan Kusimpan rasa cinta yang kuceritan keseribu para serdadu Mereka menangis sambil tertawa seperti orang kena sawan Dibalik senyum canggungmu Dibalik sikap acuh tak acuhmu Mungkin aku terlalu naif dan dungu Kenapa aku tak bisa pergi dan berlari sesenti darimu

Hanya Puisi Tentang Keinginan Sederhana

Ini terlalu besar untuk kusembunyikan hanya dibalik saput mataku Bagaimana kusembunyikan hal seluas semesta dibalik dua jendela jiwaku Kecuali jika kau tak menyadari atau memang tak ingin sadar Satu semesta itu dapat kuringkas jadi sebaris kata Dibawah lidahku yang selamanya terasa beku Ingin rasanya kumenjelma menjadi darah yang berjalan didalam hidupmu Menjadi bagian yang tak bisa kau pisahkan Dan itu adalah aku Jikalau kau memohon untuk mengutuk langit jadi jelaga Ketika siang, ketika matahari bersuluh digelanggang pandangan orang banyak kepada Tuhan Mungkin akupun yang akan paling kerasa berteriak pada Tuhan Hingga Do’a ku merobek langit hingga lumat Aku hanya ingin jadi bayangan ketika kau berjalan ketika siang Menjadi serasah cahaya yang kau ikuti ketika gelap menyerang Sesederhana itu 

Mawar dipelabuan

Malam ini purnama sempurna bundar diangkasa. Herkules, sering dipanggil Ules oleh warga sekitar. Ules sedang berdiri termangu diatas genting posiandu menatap langit. Kuli bangunan hitam legam ini mendadak melangkolis, dadanya sering sesak bila mendengar lagu bernada gundah gulana, galau yang sering diputar di walkman butut sekalipun itu lagu berbahasa Inggris, ia bias merasakan kesedihan walaupun seberarnya Ules yang tak tamat SD tak pernah tau kata bahasa inggris untuk ‘cinta’.             Ules mengusap dadanya yang bidang, Ules tak pernah sakit karena badannya seperti kuda beban – kuat tetapi baru kali ini rongga dadanya terasa penuh, ada yang menjalar dari dadanya ke kerongkongannya. Membatu disana. Mata cerianya yang sering menghiasi wajah garangnya kini lesap sudah, berganti dengan mata sendu tak kuasa menahan tangis.             Pantulan purnama memantul jelas pelabuan ujung. Lagu yang diputar sekarang adalah lagu dari penyanyi kenamaan ibukota. Berlirik keresahan seseoran