Skip to main content

Posts

Showing posts from June, 2015

Budi Yang Resah

Untuk kawanku Budi Atman simanusia Uranium yang ledakannya abadi Tetikus di layar monitor berkedip kedip, tetapi mata yang mengamatinya tak pernah berkedip sekalipun. Hatinya kalut, berdebar-debar, ia cemas. Sesekali menggigit bibir, telapak tangannya basah. Resah, ia menjambak rambutnya sendiri. Ia menghembuskan nafas yang berat.             Ia bingung menulis kata pertama untuk membalas surel itu, mahasiswa psikologi itu akhirnya menutup laptopnya dengan kasar. Mengurungkan membalas surel itu. Mengunci pintu dan membenamkan wajahnya kebantal, berharap itu hanya sekedar mimpi disiang bolong lalu bangun dengan keadaan yang tak terjadi apa-apa.             M.H. Sobirin kawan semenjak kejadian tragis itu, kini ia merubah segala penampilannya, ditanggalkan kemeja corak buruknya, minyak wangi yang bau tujuh rupa memusingkan kepala, celana yang berfungsi sebagai sapu pun tak ada. Semuanya dihibahkan. Berganti dengan Sobirin yang kekinian. Kaos berkerah, celana jeans lazimnya pemuda

Sobirin yang jatuh cinta

Dipersembahkan untuk seseorang yang nun jauh disana, dibalik gunung, yang suka tahu bulat dan Kawanku yang bernama M.H. Sobirin Diatas balkon lantai dua. Pukul dua belas malam. Angin dingin yang rasanya merobek kulit, melumatkan daging, dan menggigit tulang. Angin itu merasuk kedalam tubuh yang ringkih – tubuh yang kurang gizi karena kebanyakan makan beras murah, satu tingkat diatas beras berkutu, satu tingkat diatas beras raskin Bulog. Manusia malang itu masih saja memeluk lutut. Lagu Lonely dari Christina perri terdendang dari handphone made in china itu, terkadang terdengar suara distraksi yang kemrosok jika sampai pada nada yang tinggi. Kemejanya berkibar terkena angin malam.             Matanya yang polos itu, yang terlihat botak seperti tak punya alis mata menatap kosong kearah lalu lalang kendaraan di jalan A.H. Nasution. Kelebat lampu kendaraan, suara klakson, dan teriakan sopir, debu-debu semuanya seperti bergerak dalam hening dan lambat. Hati pengamat itu sedan

Sobirin Mahasiswa Biang Kerok

BATANG batang cahaya masuk dari tingkap kisi jendela, debu debu kini terlihat jelas, miliaran debu membedaki kamar pengap ini. Terdengar suara air yang mengucur deras dari keran lamat lamat mengendur karena tuas kerannya ditutup. Pintu kamar mandi terbuka. Sehelai anduk dililitkan dipinggang, demi menutupi sikemaluan agar tak pamer kemana mana. M.H. Sobirin – Huruf ‘H’ nya sering diidentikan dengan gelar Haji, padahal puasa bulan haji pun jarang-jarang. Wangi sabun murah menguar dikamar kosan. Sobirin yang jarang mandi pagi kini tumben-tumbenan mandi pukul tujuh ini dikarnakan harus mengikuti ujian perbaikan, mau tak mau harus mandi pagi dari pada kena depak dosen. Blower terdengar berdesir. Budi Atman mahasiswa jurusan Psikologi ini tak henti hentinya mengetik dari malam, matanya merah bagai habis kena tonjok orang, wajahnya berminyak tanda belum kena air. Jika wajahnya bisa dicopot lalu diperas mungkin bisa menghasilkan satu kilogram minyak, jadi tak usah beli ke warung Bu Ijah

Puisi saja

Diantara bantal bantal Diantara tikungan jalan Diantara helai sayap burung diudara Diantara riak sungai tak bertulang Kusimpan khayalan membumi Kusimpan cinta yang tak berbalas Cinta yang tak pernah punya kesempatan Yang seabadi masa itu ada Diantara pucuk bunga terompet Diantara kabut yang kena tempias lampu warna Cinta yang meranum kini busuk membiru Sudahlah aku ingin minggat saja Aku malu, kau diam tak menggubris Perasaan yang telah purba kini punah jadi apa

INI PUISI

Terlalu menyedihkan untuk diingat Lalu kubangun sejagad nisan Tempat menguburkan kisah kisah menyengat Serasah cerita yang tak mampu dijabar lisan Dibalik mata sendu Dibalik mahkota awan awan Kusimpan rasa cinta yang kuceritan keseribu para serdadu Mereka menangis sambil tertawa seperti orang kena sawan Dibalik senyum canggungmu Dibalik sikap acuh tak acuhmu Mungkin aku terlalu naif dan dungu Kenapa aku tak bisa pergi dan berlari sesenti darimu

Hanya Puisi Tentang Keinginan Sederhana

Ini terlalu besar untuk kusembunyikan hanya dibalik saput mataku Bagaimana kusembunyikan hal seluas semesta dibalik dua jendela jiwaku Kecuali jika kau tak menyadari atau memang tak ingin sadar Satu semesta itu dapat kuringkas jadi sebaris kata Dibawah lidahku yang selamanya terasa beku Ingin rasanya kumenjelma menjadi darah yang berjalan didalam hidupmu Menjadi bagian yang tak bisa kau pisahkan Dan itu adalah aku Jikalau kau memohon untuk mengutuk langit jadi jelaga Ketika siang, ketika matahari bersuluh digelanggang pandangan orang banyak kepada Tuhan Mungkin akupun yang akan paling kerasa berteriak pada Tuhan Hingga Do’a ku merobek langit hingga lumat Aku hanya ingin jadi bayangan ketika kau berjalan ketika siang Menjadi serasah cahaya yang kau ikuti ketika gelap menyerang Sesederhana itu