Dengan
sayap yang terjalin dari bulu burung dan tetesan lilin, ia terbang menembus
angkasa. Menerjang angin dan terus mengejar matahari. Kecintaan dan rasa
penasarannya terhadap matahari jugalah yang membunuhnya, sehingga ia jatuh dan
tenggelam di lelapnya samudra. Begitulah Icarus mencintai matahari. Sobirin menutup
buku yang ia baca, lalu ia memandang langit-langit kosannya dengan puluhan ribu
pertanyaan. Pertanyaan itu tidak terjawab oleh dirinya sendiri dan ia pun
mendengus pada dirinya sendiri.
Ia turun ke lantai bawah, mengubek-ubek nasi dingin di
ricecooker, mengaduk-aduk bumbu yang ada. Rasa lapar menggerakan persendian
pemalas Sobirin. Sobirin mengiris bawang, cabai, dan terasi dengan malas. Mengoseng-oseng
dengan malas, menyajikan dengan malas, makan dengan bersemangat sampai-sampai
berkeringat.
Selepas makan, Sobirin mandi. Biasanya Sobirin hanya
mencuci muka dan menggosok gigi akan tetapi mengingat ia sudah tidak mandi selama
3 hari dan badan sudah bau tong sampah, akhirnya Sobirin berjalan menuju kamar
mandi dengan gerakan yang malas.
Selepas mandi ia berseka, memakai kemeja hawaii
bunga-bunga, celana cutbray bekas hasil membeli di pasar Gedebage. Ia hadapkan
wajahnya ke hadapan cermin, ia tatap pantulan dirinya di cermin tersebut sambil
terheran-heran.
“Siapa aku?”
“Anak seorang penjaga villa”
“Kenapa kau ada disini?”
“Untuk berkuliah”
“Untuk apa kuliah?”
“Dapat Ijazah”
“Untuk apa Iijazah?”
“Untuk bekerja”
“Kenapa bekerja perlu ijazah?”
“Aku tidak tahu”
“Jadi kau kuliah untuk mengikuti sesuatu yang tidak kamu
ketahui?”
“Monyet!”
“Kenapa kau terlihat kusut?”
“Karena aku banyak bekerja dan mengerjakan tugas”
“Untuk apa kau banyak bekerja dan mengerjakan tugas?”
“Untuk mendapatkan uang, kebahagiaan!”
“tapi kau nampak tidak bahagia, dan terlihat seperti
orang yang muak dengan dunia”
“Setan alas!”
Sobirin pun bergegas minggat dari hadapan cermin, bisa
gila ia jika terus berhadapan dengan bayangannya sendiri. Buru-buru ia menyetop
angkot karena mata kuliah Pak Engkus 10 menit lagi akan dimulai, ia tidak boleh
terlambat, karena jika terlambat sang dosen tidak akan pernah mau mentolerir
alasan keterlambatan apapun.
Jalan begitu sesak, klakson seperti saling saut, dan asap
knalpot seperti jadi pemandangan yang lumrah. Ditengah kemacetan itu, Sobirin
melihat seorang gelandangan yang mengais-ngais makanan di bak sampah, sedangkan
makanan berlimpah ruah di deretan etalase minimarket dan orang-orang tidak
peduli. Dunia sedang tidak kekurangan makanan, tapi masih aja ada yang mengais
sampah untuk dijejalkan ke perut. Dunia ini sedang berada dalam kegilaan!
Sobirin akhirnya sampai di depan kampus, sialnya waktu
tersisa 3 menit lagi. Waktu 3 menit ini mesti ia perrgunakan sebaik-baiknya
untuk berlari, meloncat, berguling atau apapun demi sampai ke pintu kelas
dengan tepat waktu. Ruang kelasnya ada di lantai 4.
Sobirin pun berlari ke lobby, ia pencet-pencet pintu lift
dan akhirnya terbuka. Saat kaki hendak melangkah masuk, tiba-tiba pundaknya
ditarik oleh satpam. Sambil menujuk sebuah tulisan “Khusus Dosen”. Sobirin
mendengus sebal dan berlari menyusri anak tangga. Dalam hatinya ia menggerutu,
kenapa lift itu hanya bisa digunakan oleh dosen padahal lift tersebut sedang
tidak digunakan, kenapa mahasiswa tidak bisa? Mengapa ada keistimewaan khusus? Kenapa
anak dekan yang juga mahasiswa seperti dia tidak pernah ditegur jika
menggunakan lift tersebut, kenapa ada perlakuan berbeda? Masyarakat kita sedang
tidak baik-baik saja.
Cuping hidungnya kembang kempis, nafas bengiknya mulai
terdengar. Satu kali langkah, 3 anak tangga terlewati. Akhirnya sampai jua di
depan pintu kelas. Sebelum ia membuka pintu kelas, ia menelan ludah,
membenarkan irama nafasnya, menyeka keringat di dahi, lalu masuk kelas. Ia tiba
di detik-detik terakhir waktu tersisa.
Alangkah kagetnya ia melihat seisi kelas yang kosong
melompong. Buru-buru ia cek jamnya, memastikan jamnya berada di jarum yang
benar. Sobirin lalu duduk di kursi, ia cek percakapan di grup kelas. Ternyata
kelas hari ini di pindah ke hari sabtu.
Comments
Post a Comment