Skip to main content

Sobirin : Berlari Terengah-engah



            Dengan sayap yang terjalin dari bulu burung dan tetesan lilin, ia terbang menembus angkasa. Menerjang angin dan terus mengejar matahari. Kecintaan dan rasa penasarannya terhadap matahari jugalah yang membunuhnya, sehingga ia jatuh dan tenggelam di lelapnya samudra. Begitulah Icarus mencintai matahari. Sobirin menutup buku yang ia baca, lalu ia memandang langit-langit kosannya dengan puluhan ribu pertanyaan. Pertanyaan itu tidak terjawab oleh dirinya sendiri dan ia pun mendengus pada dirinya sendiri.
            Ia turun ke lantai bawah, mengubek-ubek nasi dingin di ricecooker, mengaduk-aduk bumbu yang ada. Rasa lapar menggerakan persendian pemalas Sobirin. Sobirin mengiris bawang, cabai, dan terasi dengan malas. Mengoseng-oseng dengan malas, menyajikan dengan malas, makan dengan bersemangat sampai-sampai berkeringat.
            Selepas makan, Sobirin mandi. Biasanya Sobirin hanya mencuci muka dan menggosok gigi akan tetapi mengingat ia sudah tidak mandi selama 3 hari dan badan sudah bau tong sampah, akhirnya Sobirin berjalan menuju kamar mandi dengan gerakan yang malas.
            Selepas mandi ia berseka, memakai kemeja hawaii bunga-bunga, celana cutbray bekas hasil membeli di pasar Gedebage. Ia hadapkan wajahnya ke hadapan cermin, ia tatap pantulan dirinya di cermin tersebut sambil terheran-heran.
            “Siapa aku?”
            “Anak seorang penjaga villa”
            “Kenapa kau ada disini?”
            “Untuk berkuliah”
            “Untuk apa kuliah?”
            “Dapat Ijazah”
            “Untuk apa Iijazah?”
            “Untuk bekerja”
            “Kenapa bekerja perlu ijazah?”
            “Aku tidak tahu”
            “Jadi kau kuliah untuk mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui?”
            “Monyet!”

            “Kenapa kau terlihat kusut?”
            “Karena aku banyak bekerja dan mengerjakan tugas”
            “Untuk apa kau banyak bekerja dan mengerjakan tugas?”
            “Untuk mendapatkan uang, kebahagiaan!”
            “tapi kau nampak tidak bahagia, dan terlihat seperti orang yang muak dengan dunia”
            “Setan alas!”

            Sobirin pun bergegas minggat dari hadapan cermin, bisa gila ia jika terus berhadapan dengan bayangannya sendiri. Buru-buru ia menyetop angkot karena mata kuliah Pak Engkus 10 menit lagi akan dimulai, ia tidak boleh terlambat, karena jika terlambat sang dosen tidak akan pernah mau mentolerir alasan keterlambatan apapun.
            Jalan begitu sesak, klakson seperti saling saut, dan asap knalpot seperti jadi pemandangan yang lumrah. Ditengah kemacetan itu, Sobirin melihat seorang gelandangan yang mengais-ngais makanan di bak sampah, sedangkan makanan berlimpah ruah di deretan etalase minimarket dan orang-orang tidak peduli. Dunia sedang tidak kekurangan makanan, tapi masih aja ada yang mengais sampah untuk dijejalkan ke perut. Dunia ini sedang berada dalam kegilaan!
            Sobirin akhirnya sampai di depan kampus, sialnya waktu tersisa 3 menit lagi. Waktu 3 menit ini mesti ia perrgunakan sebaik-baiknya untuk berlari, meloncat, berguling atau apapun demi sampai ke pintu kelas dengan tepat waktu. Ruang kelasnya ada di lantai 4.
            Sobirin pun berlari ke lobby, ia pencet-pencet pintu lift dan akhirnya terbuka. Saat kaki hendak melangkah masuk, tiba-tiba pundaknya ditarik oleh satpam. Sambil menujuk sebuah tulisan “Khusus Dosen”. Sobirin mendengus sebal dan berlari menyusri anak tangga. Dalam hatinya ia menggerutu, kenapa lift itu hanya bisa digunakan oleh dosen padahal lift tersebut sedang tidak digunakan, kenapa mahasiswa tidak bisa? Mengapa ada keistimewaan khusus? Kenapa anak dekan yang juga mahasiswa seperti dia tidak pernah ditegur jika menggunakan lift tersebut, kenapa ada perlakuan berbeda? Masyarakat kita sedang tidak baik-baik saja.
            Cuping hidungnya kembang kempis, nafas bengiknya mulai terdengar. Satu kali langkah, 3 anak tangga terlewati. Akhirnya sampai jua di depan pintu kelas. Sebelum ia membuka pintu kelas, ia menelan ludah, membenarkan irama nafasnya, menyeka keringat di dahi, lalu masuk kelas. Ia tiba di detik-detik terakhir waktu tersisa.
            Alangkah kagetnya ia melihat seisi kelas yang kosong melompong. Buru-buru ia cek jamnya, memastikan jamnya berada di jarum yang benar. Sobirin lalu duduk di kursi, ia cek percakapan di grup kelas. Ternyata kelas hari ini di pindah ke hari sabtu.          

Comments

Popular posts from this blog

Sobirin yang jatuh cinta

Dipersembahkan untuk seseorang yang nun jauh disana, dibalik gunung, yang suka tahu bulat dan Kawanku yang bernama M.H. Sobirin Diatas balkon lantai dua. Pukul dua belas malam. Angin dingin yang rasanya merobek kulit, melumatkan daging, dan menggigit tulang. Angin itu merasuk kedalam tubuh yang ringkih – tubuh yang kurang gizi karena kebanyakan makan beras murah, satu tingkat diatas beras berkutu, satu tingkat diatas beras raskin Bulog. Manusia malang itu masih saja memeluk lutut. Lagu Lonely dari Christina perri terdendang dari handphone made in china itu, terkadang terdengar suara distraksi yang kemrosok jika sampai pada nada yang tinggi. Kemejanya berkibar terkena angin malam.             Matanya yang polos itu, yang terlihat botak seperti tak punya alis mata menatap kosong kearah lalu lalang kendaraan di jalan A.H. Nasution. Kelebat lampu kendaraan, suara klakson, dan teriakan sopir, debu-debu semuanya seperti bergerak dalam hening dan lambat. Hati pengamat itu sedan

Cerpen : Gebetan Syariah

Malam ini gue jalan sama gebetan. Gue mau jalan sama Dita, kita beda sekolahan jadi sering kangen kangen gitu karena kita jarang ketemu. Gue udah mandi dan duduk didepan cermin dengan tatapan memuja, sambil bilang “ Kamu ganteng, kamu ganteng “ Dan manyunin bibir biar keliatan imut. Nyokap buka pintu dan liat gue merancau sendiri ngomong “kamu ganteng “, bibir monyong didepan cermin, dimana keadaan gue cuman pake handuk doang karena abis mandi. Gue membeku, nyokap menatap gue dengan tatapan nanar lalu menaruh deodorant roll di meja gue lalu pergi tanpa suara.             Gue ambil deodorant itu dan gue olesin diketiak gue, kaos warna item gue pilih buat menyamarkan gelambir yang udah berundak undak, gue pake celana jeans belel. Pas nyisir rambut entah kenapa ketek gue terasa terbakar. Pedes. Gue meringis lalu berteriak kalap keluar kamar. Gue buka baju didepan bokap yang lagi nonton tivi dan gue pajang ketek gue didepan kipas angin yang menyala. Masih pedes, gue berlari kearah dap