Skip to main content

Perjalanan Hati

Kenapa seorang pangeran selalu bahagia dengan gadis atau putri cantik ?
Kenapa seorang gadis atau putri cantik selalu berakhir bahagia dengan pangeran gagah ?
Pertanyaan itu selalu mengambang dalam benakku.
            Entah sejak dulu aku selalu kecewa dan dibuat perih. Pertama ketika orang yang kusayangi tiba tiba menjauh dariku tanpa alasan lalu kulepas dia karena aku sangat mencintainnya, ketika aku hanya dianggap seorang kakak – oleh adik angkatku sekarang, saat hanya dijadikan bara untuk memanas manasi mantan kekasih, hanya dimanfaatkan. Aku pernah mengalaminya, dan waktu lama lama mulai mengobatiku satu persatu.
            Ini adalah petualanganku, menapaki dan menjelajah Taman Nasional Gede Pangrango. Aku sangat menunggu ini sejak lama, aku ingin merasakan sensasi berada diatas awan dan hitung hitung membakar gelambir lemakku yang telah mengubur semua kesempatanku. “Dia terlalu gendutlah, mana mau gue sama orang gendut kaya loe” – Aku kebal cibiran macam itu.
            Semuannya berjumlah 8 Orang, tiga diantarannya perempuan, dan satu diantarannya dia. Yang membuat diriku panas dingin.
            Aku mencoba berdiri disampingnya. Temanku yang lain mencoba melakukan lifting. Rasyid mencoba mengacung ngacungkan tangannya kesetiap mobil pick up yang melintas.
            Aku mendadak bisu. Perempuan itu tiba tiba melirikku, dia tersenyum simpul lalu menghajar lembut lenganku. Aku merasa runtuh didepannya.
            Kucolek pipinya. Rasanya ada bisu yang nyaman diantara ini semua.
            Rasyid berhasil melakukan usahannya, sebuah pick up Mitsubisi putih bersenang hati menepi dan memberi kami tumpangan hingga Cipanas. Carrier biru lautku kunaikan, tak hanya carrierku saja, kami saling membahu mengangkat carier carier yang lain. Diantara itu semua ada yang isinya Logistik seperti makanan, snack, parafin, dan kompor portable.
            Mobil ini menggelinding lembut.
Mesin mobil mulai menderu dan persenelingnya semakin merendah ketika melewati jalan Puncak yang berkelok kelok seperti ular yang membelit gunung, hamparan teh hijau mengarpet, warung oleh oleh berderet rapi disepanjang jalur. Angin lembut membelai rambutnya yang hitam dan bergelombang. Momen itu tiba tiba menjadi Slow motion. Rambutnya menari dijilat angin, beberapa helainya tempias ke pipinya, kaosnya juga bergelombang diterpa tekanan yang rendah, matanya yang dalam bersinar bening, senyumnya merekah dalam berlesung. Jantungku cepat seiring pandangan slow motionku. Tuhan aku memuja setiap detik ini.
            Tiba tiba mode slow motion ini kembali kemode normal, lalu mobil ini menikung tajam, aku tumbang. Tawa berderai, yang paling berambisi mengolokku adalah Rama, dia pun tertawa renyah. Denyut jantungku terasa disetiap simpul hidupku.
            “ Mangkanya jangan bengong dut, untung aja baknya gak bolong kena hujam pantatlu hahahaha “
            “ Sialan lu “ desisku, aku mengulurkan tangan kepada Rama.
            “ Njir berat amat sih lu, badanlu kaya carrier 200 L tau gak “
Mobil tumpangan kami sudah masuk kedaerah Ciloto, Dia menunjuk kesalah satu hamparan kebun bunga. Aku menatut wajahnya.
            “ Bunganya indah yah ?? “
            Lebih indah lu kali. Aku tersenyum tipis.
            Tiba tiba ada tangan jahil yang menyambar senyum tipisku, aku tahu tangan siapa ini. Warna kulitnya hitam dan kasar persis tangan kuli pelabuan.
            “ Woyy senyam senyum sendiri loe, gila lu yah ? “
            “ Eh siapa, lu kali yang gila Bondol ! “
Aku sambar wajahnya menggunakan sapu tanganku. Andri mengerjap ngerjap mengelus biji matanya. Aku kembali kedunia khayalku, dunia dimana semua pikiranku berisi dirinya.
            Akhirnya mobil tumpanganku sampai dipoint pertama. Plang masuk gerbang TNGP. Kami harus menyewa angkot untuk samapai dipos pertama. Seperti biasa Rasyid mengurus semuanya tapi kali ini dibantu Tian. Gue terlalu sibuk mengurus semua khayalku. Entah setiap gerakan tubuhnya selalu diikuti mataku. Seakan akan sistem koordinasi penglihatanku dikendalikan sumsum tulang belakang bukan otak. Tiba tiba Ridwan membisik ditelingaku.
            “ Waah liatin dia mulu, jadilah mata mata yang Profesional “
Ridwan satu satunya orang yang mengetahui hal ini. Ia melangkah pergi dengan carrier berisi tenda, pergi menuju warung dipinggir jalan.
            Gue menghampiri dia dengan menyiapkan kata kata yang sebelumnya sudah kupikirkan. Saat kudekati dia, tiba tiba gue lupa semuanya.
            “ Dista ? “
“ Iya ada apa Tom ? “
            “ Ehmm enggak, enggak, lu ud..hm bawa baju gak ? “ Aku berniat menanyakan ‘ apakah dia bawa obat khusus gak ? “ Tetapi yang meluncur adalah kata kata bodoh !
“ Ya bawalah, masa enggak ? emang disana ada distro “ Bibirnya bulat sempurna saat mengucapkan kata ‘O’
“ Oh iya, iya juga “ Gue menggaruk kepala yang tidak gatal.
“ Eh angkotnya datang tuh “
Dia melangkah maju meninggalkanku dengan ransel mediumnya. Kulihat dia begitu akrab dengan Tian, mereka bergurau. Tian mengacak rambut Dista, Dista memukul mukul manja. Semuanya slow motion. Tuhan ini adalah detik yang aku benci. Ridwan tiba tiba mengelus punggungku.
“ Ayo petualangan dimulai ! “
Aku berjalan lesu.
Angkot ini mungkin kondisinya sudah gaek. Sopirnya mencoba menganti perseneling, menginjak kopling, menghujam pedal gas. Tetap saja seperti melata. Disetiap tanjakan beberapa laki – laki turun untuk mendorong dan meringankan massa tumpangan. Hampir empat kali aku turun mendorong angkot gaek sialan ini.
            Akhirnya sampai juga, aku segera mencari sebuah warung. Jahe dan gula merah akan selalu membantu, gula merah untuk stamina sebagai glukosa, jahe sebagai penghangat tubuh. Kami menurunkan carrier. Menggunakan carrier lazimnya tidak seperti menggunakan ransel, yakni dengan meluncurkannya lewat atas, bukan langsung digapit. Carrierku sesak.
            Setelah mengurus simaksi dan pemeriksaan, semuanya mulai berjalan menyusuri trek. Trek yang kami tempuh adalah jalur pendakian via Gunung putri lebih pendek dari jalur Cibodas dan lebih terjal. Kami menempuh perjalan selama 6 jam.
            Saat perjalan, diperjalanan jam ke 3. Kami break cukup lama. Dista keliahatan kecapean. Gue memberanikan diri.
“ Dis gue bawain aja ransel lu yah, lumayan masih lama, berat loh “ sebelumnya aku tak selancar ini.
“ Hmm gak usah deh Tom “
“ Bener gak apa apa “
Dista melambai lambaikan tangan, nafasnya masih hah-heh-hoh.
Kami melanjutkan perjalanan. Cahaya matahari mulai merangsek dari balik celah daun, dan Oksigen semakin menipis. Tenaga akan benar benar terkuras bila seperti ini. Ku menoleh kebelakang. Tian membawakan tas Dista, Dista tersenyum matanya berbinar. Salah satu bilik jantungku mogok beroprasi.
            Kenapa sama gue nolak, sama Tian enggak !
Gue mencoba menghampiri Ridwan dibelakang dan berjalan agak membelakang dari rombongan, agar mereka tidak mendengar percakapanku.
            “ Bro lu liat ga si Dista ? Tasnya dibawain Tian, eh padahal gue udah nawarin duluan “
            “ Mungkin tadi belom cape banget pas ditawarin lu kali “
            Ucapan Ridwan cukup menjinakan perasaanku sesaat.
            Akhirnya padang surya kencana sudah ada didepan mata, bunga Edelwis dicumbui kabut tebal, bunganya mekar dengan indah. Dan seakan akan berkata “ Boleh diliat gak boleh dimiliki “ Filosofi bunga ini seperti Dista saja.
            “ Ini bukan kabut biasa, ini awan yang sering kita lihat “ Seruku.
            “ Nikmatilah surganya kawan “ Rasyid tersenyum sambil menyulut kretek – dialah guidenya.
            Aku berjalan paling depan, ingin menjadi orang yang paling pertama memerawani pemandangan ini diantara mereka yang belum pernah kesini. Kabut menyepuh lembah ini, edelwis menghampar sepanjang mata memandang – Padang Surya kencana adalah padang edelwis terbesar di jawa barat.
            Aku merasa disurga rasanya. Tetapi saat kulihat kebelakang rasanya hatiku sudah hancur limfaku bocor, cairan empedu meracuni darahku. Semuanya terasa pahit. Ini bukan surga ini neraka. Dista merangkul lengan Tian, mesra, mesra sekali, mereka berceloteh. Yang kupikir adalah bukannya Tian naksir sama sahabatnya Dista. Aku seperti kabut yang dibinasakan cahaya matahari yang merekah sama seperti keadaan kabut sekarang.
            “ Bro kabutnya lenyap bro lenyap !! “ Nurma berseru.
            Bahagiaku pun lenyap.
            Kami telah menemukan spot yang pas untuk menegakan tenda. Tenda kami dekat dengan mata air yang mengarai membelah lembah. Hatiku pun mengaga sekarang persis lembah ini yang dibelah mata airnya sendiri.
            Maghrib akan segera datang, 1 jam lagi kira – kira. Kami hendak melihat sunset diatas puncak Gede. Akupun hendak berniat mendekatkan diri kepadanya secara private saat matahari benar benar tenggelam di horizon.
            Aku tahu Dista sangat mencintai sunset, dan dia pasti mencari spot yang tidak terlalu ramai untuk menikmatinya, persis ketika dipantai Sawarna. Mengasingkan diri dan menikmati sendiri. Itu kesempatanku.
            Aku melihat Dista mengasingkan diri kesebelah pojok, 200 meter dari rombongan kami, dibawah pohon yang ceper dia duduk menikmati sunset yang tenggelam dibalik gunung Salak yang diselimuti awan yang melingkar dan membuih – persis seperti Foam Capuccino. Aku hendak menjumpainya tapi sial aku melupakan sesuatu. Kamera ! Akan kuabadikan ini.
            Kuambil Canon yang kupinjam dari temanku.
Aku membeku, rasanya aku ingin meletus seperti gunung ini 67 tahun lalu. Aku bisu dan menjadi partikel yang tak berdaya ditiup angin diatas 2985 Mdpl. Tenggorokanku seperti disumpal batu, nafasku tersegal, mataku menatap kosong melihat Dista menyenderkan kepalanya dibahu Tian. Sambil menikmati sunset.
Tiba tiba Tian menoleh melihatku.
“ Eh lu Tom, fotoin kita berdua dong “
Aku memotret mereka dengan tangan gemetar, lalu segera berlari menuruni lereng. Menuju Tenda. Rasyid tidak ikut kepuncak, dia menyiapkan makan. Aku mengurungkan niat untuk ketenda, aku berlari ketimur menuju padang edelwis yang lengang.
Malam telah menjelang, gugusan bintang terlihat jernih disini, tak ada polusi cahaya. Suhu lembah begitu dingin, tapi tidak sedingin dan sehampa diriku sekarang. Aku memandangi langit dengan perut yang kosong. 4 Jam aku menghilang dari rombongan, mengasingkan diri dan merutuki diri.
Aku memutuskan kembali ketenda.
Anak anak menatapku antara lega dan kaget.
“ Tom lu kemana aja sih ??!! Kita nyariin sampe botak, kalo lu ilang gimana !! “
Aku diam saja.
“ Lu dah makan belom ?? gue bikinin mie yah “ Andri menawarkan
Aku menggeleng menolak.
“ Syid gue minta obat pening kepala ada gak ? “
Rasyid merogoh tas kecil P3Knya lalu memberiku satu tablet.
“ Lagi Syid “
“ Gila luh “
Ku rampas tas kecilnya, mengaduk, dan mengambil satu strip. Aku masuk ketenda dengan perut kosong dan hati yang kosong. Kulihat diantara kayu yang membara diantara api unggun itu memupus dan menjadi abu dibakar api. Akulah sang abu, api adalah Dista dan Tian yang membara saling bercengkrama hangat. Aku lihat dari celah tenda.
Tangan dista merangkul lengan Tian. Aku merangkul lututku, gigiku gemertak walau menggunakan jaket berlapis dan dibalut sleeping bag.

Aku ingin tidur lelap dan melupakan ini.

Beberapa bagiannya kisah nyata.

Comments

Popular posts from this blog

Sobirin yang jatuh cinta

Dipersembahkan untuk seseorang yang nun jauh disana, dibalik gunung, yang suka tahu bulat dan Kawanku yang bernama M.H. Sobirin Diatas balkon lantai dua. Pukul dua belas malam. Angin dingin yang rasanya merobek kulit, melumatkan daging, dan menggigit tulang. Angin itu merasuk kedalam tubuh yang ringkih – tubuh yang kurang gizi karena kebanyakan makan beras murah, satu tingkat diatas beras berkutu, satu tingkat diatas beras raskin Bulog. Manusia malang itu masih saja memeluk lutut. Lagu Lonely dari Christina perri terdendang dari handphone made in china itu, terkadang terdengar suara distraksi yang kemrosok jika sampai pada nada yang tinggi. Kemejanya berkibar terkena angin malam.             Matanya yang polos itu, yang terlihat botak seperti tak punya alis mata menatap kosong kearah lalu lalang kendaraan di jalan A.H. Nasution. Kelebat lampu kendaraan, suara klakson, dan teriakan sopir, debu-debu semuanya seperti bergerak dalam hening dan lambat. Hati pengamat itu sedan

Cerpen : Gebetan Syariah

Malam ini gue jalan sama gebetan. Gue mau jalan sama Dita, kita beda sekolahan jadi sering kangen kangen gitu karena kita jarang ketemu. Gue udah mandi dan duduk didepan cermin dengan tatapan memuja, sambil bilang “ Kamu ganteng, kamu ganteng “ Dan manyunin bibir biar keliatan imut. Nyokap buka pintu dan liat gue merancau sendiri ngomong “kamu ganteng “, bibir monyong didepan cermin, dimana keadaan gue cuman pake handuk doang karena abis mandi. Gue membeku, nyokap menatap gue dengan tatapan nanar lalu menaruh deodorant roll di meja gue lalu pergi tanpa suara.             Gue ambil deodorant itu dan gue olesin diketiak gue, kaos warna item gue pilih buat menyamarkan gelambir yang udah berundak undak, gue pake celana jeans belel. Pas nyisir rambut entah kenapa ketek gue terasa terbakar. Pedes. Gue meringis lalu berteriak kalap keluar kamar. Gue buka baju didepan bokap yang lagi nonton tivi dan gue pajang ketek gue didepan kipas angin yang menyala. Masih pedes, gue berlari kearah dap