Inilah
persembahan terakhirku. Sebuah dongeng kecil dimana kau menjadi pemeran
terakhir dari semua ceritaku yang kutulis. Ini yang terakhir untukmu. Aku harap
endingnya akan sama. Indah walau tak bersama.
Dongeng Putri dan Pujangga timpang
Ini
adalah dongeng tentang seorang Putri cantik bermata coklat dari kerajaan kaki
awan dan seorang jonggos istana yang bisu, tuli, dan timpang jalannya. Hanya
kedua mata dan tangannya yang terus berpuisi.
Satu
malam ditanggal empat belas, rembulan mengikat penuh dengan cahayanya di langit
yang bertabur bintang. Sang putri bernyanyi syahdu dan termangu di balkon
istana. Matanya yang coklat, sempurna memeluk hening malam.
Tepat
dibawah balkon tempat sang Putri menjamah malam, Si jongos istana meratapi sang
Putri, ingin si jongos istana teriak memanggil sang Putri. Aku bisu.
Si
jongos istana ingin sekali mendengar suara nyanyian sang Putri yang indah
terkenal seantero istana dan negeri kaki awan. Aku tuli.
Aku
hanya bias berbisik lirih dalam hati memanggil sang Putri
Dan mendengar sayup didalam ruang
yang tersudut dalam dadaku.
Sang
Putri melihat sosok si jongos istana, lalu melihatnya lekat lekat dengan mata
coklatnya. Si Jongos menghamburkan diri ketaman istana yang terdapat labirin.
Sang putri terlihat penasaran dan masuk kedalam istana. Meninggalkan rembulan
yang bersinar bergelora.
Keesokanya
disudut taman istana, tempat si Jongos istana berdiam dan bekerja. Ternyata
ialah yang membuat taman istana menjadi cantik. Sang putri menghampiri Jongos
istana itu.
Mawar
dan tulip bergoyang ditiup angin Utara.
Si
jongos berlari dengan kaki kanan yang timpang terseret, lalu berlutut dihadapan
sang putrid. Sang pujaan.
“
Siapakah kau ..?? “ Suara lembut sang Putri tak pernah terdengar olehnya.
Tetapi hatinya merasakan kuat kalimat Tanya sang Putri. Si jongos istana
menggeleng pedih, lalu menyilangkan kedua jarinya di depan bibirnya. Mata
jongos itu sendu dan dalam.
Aku
bisu putri.
“
Kau sering mendengar nyanyianku saat malam ? “
Sekali
lagi jongos istana itu menggeleng perih, lalu menutup kedua telinganya.
Aku
tuli putri.
Sang
Putri mengais buku kecil disisi tempat si jongos berlutut, buku yang jatuh
ketika ia berdebam menghormat sang Putri.
Sang
Putri membuka lembaran demi lembaran.
“
Kau sering menulis puisikah ? “
Jongos
istana bisu itu mengangguk.
“
Tolong tuliskan puisi indah untukku ? “
Aku
mendengar jelas permintaanmu Putri.
Jongos
istana merogoh pensil arang dalam sakunya. Ia mulai menggurat aksara puisi
untuk sang putrid dihadapannya. Putri yang menatap lekat si jongos bisu.
Jantung si jongos memukul hebat bagai badai karibia.
Wahai Putri
Anak tunggal sang Raja yang agung
Kaulah
Puisi terindah
Milik daratan yang membentang
Kau adalah takhta bagi pangeran dari berbagai negri yang kan dating
Yang mustahil
Bagi
Pemuda yang musykil berkata, tak tak akan pernah bisa mendengar
kesah lirih kekasih hatinya.
Yang tak akan sanggup memasang kuda kuda untuk melindungi sahabat
hidupnya
Karena kakinya yang timpang
Pincang
Hanya bisa meratap dan menulis sambil menangis
Pensil bagai pedang mengiris
Terlihat
disudut mata coklat sang Putri, air mata timbul dari sana. Air matanya melayang
dan meninju tanah hingga basah. Ingin si jongos berkata “ kenapa “ tetapi Aku
bisu tak mampu berkata. Tangan si jongos yang cemong menengadah dan member isyarat
“ Kau kenapa wahai tuan Putri ? “
Tangisnya
tanpa isak lalu berkata pada si jongos.
“
Siapa namamu ? “
Si
jongos menggurat pensil arangnya dikertas yang buram. ‘ Rumi si penggubah
cacat, orang memanggilku tuan putri ‘
Lalu
tangan sang putri memberi isyarat meminjam pensil Rumi. Sang Putri menulis kata
‘ Dyana ‘ Lalu menatap lekat bola mata gelap dan dalam Rumi.
“
Itu namaku Rumi, aku akan kembali untuk membaca puisi puisimu “
Putri
Dyana melangkah ringkih meninggalkan Rumi yang berdiri timpang dan menghilang seiring
lenyapnya desau angin dari Jihat Utara yang membawa serbuk bunga dandelion.
Debam
jatuh tangismu Putri Dyana seperti tinju ombak menampar daratan.
Sang
Putri hampir setiap hari datang menemui Rumi. Mereka bercengkrama dalam bisu
dan hening ditengah padang bunga taman istana. Empat musim telah mereka lalui.
Sang putrid yang selalu bernyanyi dan Rumi selalu mendengarkannya walau dalam
hening. Ia merasakan bahwa hening bukanlah sepi.
Satu
waktu Sang Raja yang agung mengumumkan bahwa sang Raja akan menikahkan anak
tunggalnya. Putri Dyana. Maka kabar berita itu menyulut keseluruh penjuru mata
angin. Pangeran gagah berdatangan dengan berbagai hadiah. Diantara mereka ada
yang dattang dengan membelah samudra ganas, dan menyiangi daratan yang seberapa
jauhnya. Putri Dyana bersedih hati.
“
Kekasih hatiku aku akan segera dijodohkan oleh Baginda raja “ Suaranya lirih.
Walau
Rumi tuli, ia dapat mendengar kabar itu telah menghujam dan mengoyak
jantungnya. Aku hanyalah jongos istana yang cacat Putri, kekasihku aku tidak
dapat berkutik apa apa. Kau pantas mendapatkan yang lebih sempurna dariku.
Bisikan
lirih Rumi terdengar oleh Putri. Ia bisa merasakannya jelas.
“
Tidak Rumi, aku tak peduli walau mereka gagah perkasa. Aku memilih mati menegak
racun “
Rumi
menggeleng keras, ia menangis terisak bisu. Ia menguncang dan memohon untuk
tidak melakukan itu. Ia menghujam hujamkan tanganya ke dada, lalu seakan akan
merobek jantungnya dan menunjuk Putri dengan mata terpejam.
Jangan
laukan itu Putri, bukan saja kau membunuhku kau akan membinasakan aku tanpa
sisa Putri, aku mohon.
Putri
terdiam.
Rumi
mengibas gibaskan tangannya dan membentuk sebuah hati sejurunya ia menghujamkan
kepalnya kedada lalu menunjuk gerbang kota. Ia seakan akan mengambil paksa
ingatan dalam benak sang Putri lalu menghempaskannya ketanah.
Aku
lebih baik melihatmu menikah dengan Pangeran mana pun, lalu kau akan segera
melupakan aku. Aku akan pergi dari istana ini agar kau tak akan mengingatku.
Hingga
tiba waktunya.
Pinangan
pangeran dari tanah timur ditolak mentah mentah, tawaran pangeran daratan utara
tak diterima jua, Raja pemilik kerajaan yang termashyur dan wilayahnya meliputi
daratan es dan lautanpun ditolak oleh sang Putri. Sang Raja termasyur geram dan
merasa dihina.
Raja
yang agung merasa tak enak hati atas perlakuan Putrinya. Raja termasyur itu
kembali ke kerajaanya dengan dua ribu lima ratus bala tentaranya.
Sebelas
hari kemudia datanglah utusan dari Kerajaan Raja termahsyur itu. Perang akan
dikobarkan oleh Raja termahsur kepada raja yang agung.
Tiga
ratus armada kapal perang menghunus garang dilautan menuju Kerajaan kaki awan
dipimpin empat Laksamana tegap dan garang, sepuluh ribu lima ratus dua puluh
lima prajurit menghunus pedang, Sembilan ratus pasukan kuda kavileri
menyeringai gagah, Seribu pemanah jitu meregangkan busur siap melesatkan anak
panah. Pasukan dipimpin langsung oleh Raja yang termahsyur. Umbul umbul perang
ditegakan. Ekspansi dimulai.
Kerajaan
kaki langit bersiap menerima tawaran perang. Prajurit berderet disepanjang
benteng pesisir pantai, Tiga ratus armada kapal perang menjadi barikade awal penyambutan
walau jumlahnya tidak sebanding, Moncong meriam disiapkan melontarkan bola bola
panas, tiga ribu perajurit menghunus pedang, tiga ribu prajurit melontar
tombak, tiga ribu prajurit melontar panah. Tidak sebanding pertarungan ini. Tak
disangka rasa cinta Putri Dyana menumpahkan darah.
Rumi
mendatangi Putri Dyana.
Gerakan
tubuhnya meminta penjelasan.
Putri
kenapa kau tolak lamaran sang Raja termahsyur ? Lihatlah akan ada pertumpahan
darah. Aku lebih memilih mati Putri. Apa yang kau harapkan dari orang yang
bisu, tuli, dan pincang ini ?!
Putri
malah terisak dan berlari.
Isakan
tangisnya benar benar merobek batin Rumi.
Perang
akhirnya meletus juga. Dihari ketujuh seratus armada kapal perang Raja
termahsyur karam dan hancur serta satu laksamana tewas bersama hancurnya kapal
kedasar samudra, semua kapal dipihak kerajaan kaki langit binasa dan dua laksamana
tewas gugur kedasar lautan. Dihari keempat belas hampir ludes setengah pasukan
kaki langit ditumpas oleh prajurit Raja termahsur yang kini sisanya tinggal dua
pertiga. Masih banyak prajurit Raja termahsur yang haus darah dan gagah. Raja
termahsur dengan gagah memimpin perang diatas buritan kapal dan kuda hitam.
Hingga
akhirnya di hari kelima belas perang berkecamuk.
Pasukan
Raja termahsyur berhasil membobol gerbang istana. Dengan gagah Raja termahsyur
menunggangi kuda membelah kecamuk perang berlangsung. Kilatan pedang Raja
termahsur terhunus mantap, merobek apa saja yang menghalangi. Rumi yang
pincang, bisu, dan tuli berdiri cemas memikirkan sang Putri.
Raja
termahsur telah berada dihadapan Raja yang agung. Pandangan mereka saling
menantang. Raja yang agung melepaskan jubah kebesarannya dan menggenggam erat
hulu pedang yang bersepuh emas.
“
Putrimu telah menghinaku Raja yang agung ! Itu berarti kerajaanmu menghina
kerajaanku. Itu tandanya menantang perang !! “
Raja
yang agung geram, lalu berlari seraya menghunus pedang. Hendak memutus leher
Raja termahsyur.
Raja
termahsur merogoh sesuatu dalam jubah perangnya, pedangnya tak bergerak
sedikitpun. Lalu ia menodongkan benda itu tepat kejantung Raja yang agung
sedang berlari. Benda itu memuntahkan timah yang melesat cepat. Bau darah
mengalir dan mesiu bercampur jadi satu.
Raja
yang Agung terkulai lemah dilantai istana, permaisuri berlari menuju suaminya
yang sekarat. Rumi berlari timpang.
Raja
yang agung menemukan sang Putri Dyana dikamarnya. Putri Dyana hanya menangis
tersedu. Raja yang agung menarik lengan Putri Dyana dan mengelus dagu lancet sang
Putri.
“
Kau akan menikah denganku Putri Dyana “
Bahaknya
mengelegar bagai meriam menghajar lambung kapal.
Putri
Dyana hanya mengeleng sambil mengeluarkan air mata dari bola matanya yang
coklat dan jernih.
“
Itu tandanya kau akan mati “
Ditodongkan
senjata timah itu kepelipis Putri Dyana. Ditarik pelatuknya dengan mantap.
“
Senjata ini macet, pasti mesiunya basah “
Raja
termahsyur menarik hulu pedang dipingganya lalu menghunuskannya keleher Putri
Dyana. Rumi berlari timpang menghunus pisau daging. Ditusuk punggung Raja
termahsur sedalam dalamnya. Raja termahsur tumbang. Rumi segera menghampiri
Putri Dyana dan menyuhnya pergi. Tangannya menunjuk nunjuk pintu dan
menyerahkan pisau yang ia pakai melukai Raja termahsur.
Kekasihku
pergilah. Pergi !!
Sebelum
Putri memutuskan pergi berlari, Pelipis rumi dihajar popor senjata timah itu
hingga berdebam kelantai. Tangan Rumi menunjuk nunjuk pintu. Pergilah Dyana
!! Pergi !
Dyana
mematung.
Raja
termahsur menghampiri Rumi dengan santai, diambil kerah baju Rumi dan ia
hempaskan kedinding hingga berdebam. Lalu Raja termahsur menghajar Rumi hingga
terkapar.
“
Ayolah Pincang ! kita selesaikan ini “
Rumi
meraih pedang milik Raja termahsur yang berkilat lalu berlari dan menusuk tubuh
Raja termahsur hingga bersimbah darah deras, Raja termahsur memuntahkan timah
yang melesat tepat kedada Rumi. Tepat dijantungnya.
Raja
Termahsyur tumbang dan tewas. Rumi
sekarat.
Putri
menghampiri Rumi yang nafasnya tersegal putus putus. Rumi menatap kekasihnya dengan
sayu. Putri Dyana membisikan sesuatu ditelinga Rumi walau ia tahu Rumi tuli.
“
Aku mencintaimu Rumi, aku ingin kau selalu menuliskan puisi untukku “
Rumi
mendengarnya. Benar benar mendengar suara isak tangis kekasihnya. Ia sudah tidak Tuli.
“
Aku pun mencintaimu Dyana, kini aku mati sebagai ksatria untukmu, aku mendengar
suara indahmu Putri “ Suara Rumi berdesir parau. Rumi tidak bisu lagi.
Mata
Rumi mengatup.
“
Hiduplah untukku “
Rumi
menggenggam tangan Dyana dengan erat.
“
Dyana kematianku bukanlah akhir puisiku untukmu, setiap tetes air hujan adalah
rinduku, setiap desau angin utara yang membawa serbuk dendalion adalah cintaku “
Rumi
akhirnya mati dalam pelukan sang Putri. Dyana mengecup kekasihnya.
Perang
akhirnya berakhir. Prajurit Kerajaan termahsyur menarik diri karena Rajanya
tewas. Perang itu menyisakan duka, duka bagi kerajaan kaki awan dan untuk Putri
Dyana. Jasad Rumi dikuburkan ditaman istana. Dinisan Rumi tertulis sebuah
puisi.
Dalam hening aku merasakan kekuatan maha dahsyat
Dalam senyap katamu aku merasakan seperti ledakan indah
memuntahkan cahaya di langit utara
Dalam setiap langkah jejak petualangan cintaku bersamamu
Rasanya aku sempurna
Dalam air hujan yang jatuh berdebam ketanah aku merasakan rindumu
Kekasihku
Dalam desau angin utara yang membawa serbuk dendalion aku merasakan
cintamu yang agung dan gagah
kekasihku
Comments
Post a Comment